Jumat, 09 Juni 2023

Ibnu Batuttah - and Why You (Must) Travel

Jadi dulu, nama kelas saya waktu SD adalah "Kelas 5 Ibnu Batutah". Karena kegigihan kedua orang tua saya yang memiliki visi anaknya paham agama, maka di kelas 4 SD, saya pindah ke sekolah Islam. Dulu ayah-ibu saya tanya, "Kamu mau pindah sekolah nggak?". Sekolahannya masih baru, muridnya cuma 8 orang. Saya yang nggak mengerti apa-apa dan dulu kelas 3 SD yang hobi dan cita-citanya jadi penyayi qosidah bilang "Iya" dengan semangat. 

Ibnu Batuttah? Siapa itu? Dulu guru saya bilang, beliau adalah ahli geografi dan pengelana dari peradaban Islam yang menuliskan dalam kitab perjalanannya, nama pulau tempat kita tinggali sekarang "Sumaterah". Beliau sampai pada abad ke-13 di Kerajaan Samudera Pasai. Dulu, jujur saya nggak tahu kalau istilah bekennya Ibnu Batuttah adalah "Travel blogger" kalau kata anak generasi Z sekarang. 

Jujur saya nggak tahu kalau beliau adalah orang Moroko dan sebenarnya adalah berber (bukan Arab). Kayaknya ini distorsi ya, karena sejak dulu yang kita tahu kalau orang yang "berbahasa arab atau muslim yang datang ke Indonesia" ya "suku arab" padahal bukan. Sejak pulang dari Maroko sampai sekarang, saya banyak baca biografi beliau dan juga baca buku Al-Rihlah yang sudah diterjemahkan (walaupun masih sepotong-sepotong). 

Jujur, saya terkesima dengan judulnya. Judul aslinya ya bukan "Al-Rihlah" saja.. yang artinya travelling. Tetapi judul asli lengkapnya adalah: Tuhfat al-anzar fi gharaaib al-amsar wa ajaaib al-asfar (A gift to those who contemplate the wonders of cities and the marvels of traveling). Merinding banget baca judulnya. 

Tapi ditulisan ini saya nggak mau bahas Ibnu Batuttah, saya mau bahas hikmah kenapa Allah menyuruh kita berkelana dan berjalan-jalan dimuka bumi (termasuk Haji - bila mampu). Disini saya merasa cukup merinding, karena di buku Al-Rihlah tersebut perjalanan Ibnu Batuttah dimulai ketika beliau mau naik haji. Beliau mau naik haji, jadi beliau pergilah berjalan ke arah Jeddah. Disitulah perjalanan beliau dimulai. 

Allah sendiri berfirman : "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al 'Ankabut ayat 20).

Banyak banget surat dan ayat dengan "Berjalanlah di (muka) bumi..".

Nggak tahu kenapa saya menjadi flashback dengan stempel paspor pertama saya untuk hidup di Malaysia 1,5 bulan. Saya ingat Abi membantu merapikan tas saya dan menginspeksi apa yang harus dibawa dan tidak, dan apa yang harus disiapkan diimigrasi, semuanya detail. Bapak saya juga membelikan saya payung warna kuning gonjreng di warung dekat kosan - yang juga saya bawa ke Eropa tapi hancur dan patah di Rotterdam 8 tahun kemudian.

Bapak saya bilang, "Abi ajarkan skillnya ya.. nanti harus bisa sendiri,". Menurut bapak saya, travelling adalah skill dan anak-anaknya harus bisa, karena merupakan bagian dari "Berjalan dan mencari hikmah di(muka) bumi". Bapak saya ikut dengan saya sampai satu minggu, kemudian pulang. 

Dua tahun kemudian, tibalah saat saya harus ke negara muslim minoritas pertama, dimana kita harus apply visa. Skill baru - pengalaman baru. Pertama kali merasakan susahnya sholat dan tanya sana-sini dimana bisa sholat, semua dibawah komando bapak saya. Saya ingat waktu itu di Bandara Hongkong menuju Indonesia - mungkin Bapak saya sudah nggak ingat, beliau bilang "Sudah bisa ya Rima, sudah lulus.

Dengan bekal 'contoh' yang sudah diberikan - dan segenggam kepercayaan - bapak saya merasa saya sudah lulus.

Bapak saya yang sudah pergi kemana-mana dan "Rihlah" sendiri dari tahun 90-an memberikan saya contoh bahwa, seluruh jalanan yang dipijak ini bumi Allah dan dimanapun kita prioritas kita adalah persiapan kembali. Saya baru sadar bahwa.. Bapak saya adalah Ibnu Batuttah-nya saya (tanpa travelogue) - beliau memberikan contoh bahwa -- dalam perjalanan di episode-episode tempat-tempat perjalanan yang sunyi sekalipun kita bisa memprioritaskan iman dan Allah tidak pernah membuatnya sulit. 

"yang membuat sulit adalah ketika kita tidak berilmu". Begitu senyap bisikannya. 

Bapak saya mungkin tidak pernah memaksa belajar fiqih, tetapi beliau membawa berkardus-kardus buku dan membacanya tepat di depan muka saya. Buku-buku yang kadang dibawanya dari Jogja -- dari toko loak itu berserakan diruang tamu kadang. Dengan senyap sayapun membaca buku-buku tersebut, mempelajarinya pelan-pelan.

Memang seringkali, tindakan memang lebih mengena dari bisik manapun.

Berjalan-jalan dimuka bumi, sungguh luar biasa cobaannya. Sayapun kadang ketakutan luar biasa. Diatas unta saya menghabiskan hafalan saya yang hanya sedikit karena saya takut untanya akan melemparkan saya. Punggung saya rasanya mau patah, kemudian saya berdoa "Ya Allah hamba-Mu sedang kesakitan, tolong mudahkan hamba," Setelah surat Nuh -- surat andalan saya supaya sabar - unta yang saya namai Siti itu berjalan dengan lebih santai sehingga hentakannya berkurang. 

Jalan-jalan di Maroko - banyak cobaannya. Banyak juga hikmahnya. Disetiap negara yang saya lewati, banyak sekali ilmunya - - terutama ilmu kehidupan. Bener Allah bilang untuk "Berjalan-jalan dimuka bumi". Mungkin itu juga sebabnya Allah menyuruh kita haji dan umroh. Kita "Bergerak" dari zona nyaman kita, kita bertemu muslim yang lain, bertemu beranekaragam orang yang kita bisa belajar dari mereka - selain itu kita belajar untuk melepaskan apa yang kita punya, apa yang kita ketahui dan berserah dengan Allah.  

Maroko adalah negara ke-27 saya, tetapi adalah negara ke-3 mayoritas muslim yang saya datangi. Dari perjalanan ke Maroko kemarin dan "Al-Rihlah"nya Ibnu batutah, sepertinya semua perjalanan saya - ada atau nggak ada yang baca harus ditulis. Saat ini saya sedang mengumpulkan folder kota-kota yang pernah saya datangi A-Z. Walaupun saya mungkin lupa karena nggak punya travelog (bahkan sebagian saya nggak pernah post juga karena saya nge-post suka-suka saya). Tapi setidaknya harusnya itu bisa jadi pengingat - untuk diri saya sendiri ketika saya sudah tua. 


July 2023 Marrakech-Merzouga-Fez