Kamis, 17 April 2014

Zombigaret, Aku, dan Secarik Kertas Kuning

Zombigaret, Aku, dan Secarik Kertas Kuning

Oleh: Karima A.


“Ma,” Panggilku pada mama pelan. Tapi ia tidak menoleh. Wajahnya menghadap ke jendela yang terbuka. Pandangannya kosong, tangannya menggenggam secarik kertas berwarna kuning.
“Ma…” panggilku lebih keras. Mama menggerakkan wajahnya, tapi bukan menghadapku. Melainkan kepada secarik kertas kuning yang tadi digenggamnya erat. Ia memperhatikan kertas itu dengan seksama dan mulai menangis. Tangisan yang sesak dan dalam, tanpa suara.
Seketika air mata ikut merebak di wajahku. Aku tahu tentang kertas kuning itu. Kertas kuning itu adalah ‘tiket’ yang selalu aku buat sebagai hadiah ulang tahun keluarga, tiket itu menunujukkan apa yang akan aku lakukan untuk orang yang menerima. Disecarik kertas itu tertulis ‘Lagu Bunda’. Sebuah lagu yang kujanjikan akan aku persembahkan untuk mama.
“Mama maafin Dira…” ucapku lagi. Mama tidak menoleh. Tidak akan. Sebab sejak tadi mama tidak mendengar apapun. Dan yang aku ucap tidak pernah terdengar pula. Tidak akan pernah. Sejak hari ini, sejak sekarang, sejak operasi laryngectomy atau kotak suaraku selesai dilakukan. Dan sejak saat ini pula jiwaku telah berpindah tempat. Sebab suara yang menjadi nafasku itu, hilang terbawa kabut asap.
xxx
3 November 2012 | First Meeting
                Hari aku menginap di rumah Sesa. Sesa adalah pelatih paduan suara kami sekaligus seorang penyiar. Kami bermain monopoli sepuasnya sampai semuanya sudah kelelahan. Sesa lalu duduk di balkon dan menghidupkan rokok. “Kamu ingin jadi penyiar?” Ucapnya mendengarkan curhatku. Aku menganguk. “Bisa. Tapi suaramu nggak berkarakter, nih..” dia menyodorkan rokok yang sudah dihisapnya. Dengan ragu aku menghisapnya. Rasanya pahit dan sesak pada hisapan pertama. Tapi ada sensasi menggelitik di kepalaku, hingga aku menghisapnya hingga selesai dan bahkan meminta batang kedua.
6 November 2013 | This addiction
                Sudah setahun aku kecanduan merokok. Setiap pulang sekolah dan jeda istirahat aku mencuri waktu untuk merokok, aku mampu menghisap 15 batang sehari dan mencoba berbagai jenis rokok. Entah kenapa aku mulai merasa sedikit sesak dan kesulitan saat bernyanyi, apa karena aku merokok? Tuhan, aku ingin berhenti. Tolong aku.
xxx
                Sejak awal tahun 2014 aku merasa sakit ditenggorokan, terus menerus batuk, dan tidak bisa menyanyi karena suaraku sangat serak. Mama membawaku ke dokter karena khawatir dengan batukku. Dokter melakukan laringoskopi dan biopsi. Aku didiagnosa menderita kanker tengorokan stadium 2. “Masih stadium 2, kamu punya bayak harapan untuk sembuh”, ujar dokternya. Saat itu mama terisak, tapi aku berjanji akan sembuh dengan memberikan kupon ‘bernyanyi’ sebagai hadiah untuk mama saat aku sembuh. Aku pasti sembuh.
                Ternyata dimulainya terapi melawan kanker tenggorokan adalah saat aku menyadari bahwa aku sudah menjadi zombigaret. Aku hidup, tapi ragaku telah hilang entah sejak kapan. Aku hidup, setengah mati. Tidak ada lagi Dira yang dulu. Aku menjalani radioterapi, yaitu terapi dengan penembakan laser atau radioaktif di sekitar tenggorokan. Saat terapi, rasa panas dan gatal menjalar ke daerah tenggorokanku. Usai terapi mulutku terasa kering dan gigiku rontok saat aku mengunyah makanan yang tidak terlalu keras seperti roti, tubuhku lemas dan aku merasa mual luar biasa. Setiap satu bulan dua kali aku melakukannya. Aku seperti mati.
                Disisi lain sulit sekali untuk tidak merokok. Melawan kecanduan bersamaan dengan melawan kanker tenggorokan sama dengan mati. Mati. Mati. Ya, aku sudah mati sejak lama. Aku merasa pusing, lemas, sakit yang luar biasa dan meriang tanpa asupan nikotin ke kepalaku lewat hisapan rokok. Aku tidak tahan dengan rasa kacau yang menjalar ditubuhku dan menghisap rokok sesekali tanpa sepengetahuan mama.
                Setelah setengah tahun pengobatan dengan radioaktif, dokter kembali memeriksaku. Beliau bilang kondisiku tidak membaik karena aku tidak berhenti merokok. Kankernya telah menyebar ke daerah pita suaraku sehingga harus dilakukan operasi pengambilan kotak suara dan diikuti dengan kemoterapi.
                  Mama menangis sejadinya. Aku melihat mama dengan pandangan lirih. Ma, biarkan aku mati. Karena aku telah mejadi zombigaret sejak lama. Aku tidak punya teman, temanku hanya sesama pasien kanker tenggorokan yang datang untuk radioterapi. Aku berangkat sekolah tapi di sekolah kerjaku hanya merokok. Otakku hanya bisa bekerja bila suplai nikotin mencukupi. Di sekolah semua orang memperlakukanku dengan jijik mengetahui aku mengidap kanker karena merokok. Aku tidak punya masa depan. Aku sulit makanan dan seluruh gigiku rontok sebagai efek samping radioterapi. Mama telah menghabiskan banyak uang untuk memulihkan ruhku. Sementara aku berjalan, tapi kakiku tidak menapak di atas jalan ini. Sekujur tubuhku lemas dan aku akan limbung. Esok setelah operasi dan kemoterapi. Aku akan kehilangan suara–tempat mimpiku bergantung dan rambutku akan rontok.

                Mama tetap terisak untukku sementara aku hanya memasang wajah dingin. Sejatinya, aku telah menjadi zombigaret sejak pertama kali menghisap rokok. Karena aku telah dikendalikan oleh rokok untuk terus menghisap tanpa peduli apapun. Dan malam saat aku menghisap rokok Sesa adalah hari yang paling aku sesali seumur hidup, saat dimana aku berubah menjadi zombiegaret. Seketika memoriku kembali pada kertas kuning dimana aku menulis akan menyanyikan lagu bunda untuk mama, janjiku untuk sembuh dan bisa menyanyi lagi. Apa daya, aku telah menjadi zombigaret. Perlahan air mataku menetes.

Kata mereka diriku, selalu di manja.. Kata mereka diriku, selalu ditimang..

-----
Cerita ini diikutsertakan dalam Lomba blog diary zombiegaret 2014 | Originally mine
and this story dedicated to all young ppl who still in love with the ciggaretes. 
Sincerely, a pharmacist wanna be -Karima-