Kamis, 30 Januari 2020

Pak Si, 1991 dan Keteladanan

"Ayo sholat jamaah," Pak Si bangkit dari tempat duduknya.

Aku terkesima dengan ajakannya. Lama, lama sekali mendengar ajakan sholat jamaah dilingkungan kantor. Kecuali sholat maghrib dengan tim QC kantor yang shift 2. Aku membuntuti Mba Dira dan Yuki yang menuntunku ke mushola kantor yang kukunjungi ini.

Mushola kantor ini berada di lantai 3, lantai paling atas. Tempat wudhu dan toilet tersedia dibagian luar, sementara area sholat dibuat lebih tinggi dengan tangga kecil berundak serta batas suci dibagian luar.

Mushaf-mushaf ukuran besar berjajar rapi. Jelas, mushaf-mushaf ini sering dibuka dan dirapikan kembali. Melihat satu Quran utsmani dengan sampul hijau, yang biasa dihibahkan oleh orang sepulang haji membuat jantungku berdesir. Aku mengambil mukena yang harumnya semerbak dan dilipat rapi di sudut lemari.

Sambil memakainya, aku bisa melihat pohon-pohon jarak disekitar kantor yang menjulang tinggi. Entah kenapa, senyumku tidak berhenti. Kenapa tempat ini begitu menyejukkan ? Batinku bicara dengan diri sendiri.

Setelah selesai sholat. Aku masih memandang ke arah luar. Cahaya sinar matahari pukul 12.30 yang menelisik diantara dedaunan itu terlihat begitu syahdu. Cahaya itu berusaha menyentuh lantai parkir samping kantor. Mataku yang mengamati sinar matahari tertuju pada sebuah sedan tua, satu-satunya mobil yang terparkir di area parkir yang luas itu. Kata Pak Si, karyawan sini tidak suka bawa mobil karena kurang praktis. Termasuk Pak Si sendiri.

Entah kenapa aku berfikir, ini tempat kerja yang tepat untuk para pecinta ketenangan. Introvert, seperti aku. Hehe. Ngaku-ngakunya sih introvert.

xxx

Acara sudah selesai, Pak Si menemani kami menunggu taksi yang tak kunjung datang.

"Jadi sudah berapa lama pak kerja disini"
"Sejak instalasi mba, 1991"

aku tertegun. Beliau tersenyum simpul dengan wajah yang teduh.

"Alhamdulillah... alhamdulillah mba," Pak Si mengucap hamdallah, dengan pandangan yang teridentifikasi tulus ikhlas. Bulu kudukku merinding.

"Bapak kenapa belum pulang ? Pulang duluan saja pak... maaf kami ganggu," Seperti biasa insting Feelers 80%ku mulai main dan merasa bersalah menjadi-jadi karena semua orang pulang kecuali Pak Si. Ini memant jam pulang kantor menjelang maghrib.

"Oh ngga papa mba... saya harus briefeing shift selanjutnya.. sama yang pending hari ini saya langsung kerjakan..

Kita harus kerja keras mba... tidak lupa berdoa, Allah memudahkan.. nanti organisasi kita maju, bisa banyak org yg Allah kasih jalan untuk makan" Lanjutnya.

"..." aku tertegun. Pak Si bukan orang biasa... dari auranya, terpancar keimanan yang sangat kuat. Etos kerjanya, ibadahnya, tutur kata & perilakunya membuat aku & temanku saling berpandangan tertegun.

"Manusia cuma bisa berusaha mba, maaf saya ngga tau hadis atau dalil... saya belajar cuma belum nyampe otaknya... pokoknya saya ibadah sebaik mungkin..

karena saya ngga tau, akhir hidup saya seperti apa" Pak Si terkekeh.

Cerita kami lanjutkan dengan pembahasan kuliner Solo yang disukai istri Pak Si, dan kuliner Solo yang pernah kucoba sebagai org Solo jadi-jadian.
.
.
.
.
Dari sebuah buku yang pernah aku baca, konsep tawakkal adalah : ibadah terbaik + ikhtiar terbaik.

Muslim yang paripurna adalah dengan keduanya.

Ditambah dengan akhlak yang baik pula. Santun, lemah lembut, pemaaf...

Looking at him,I have no words. Ternyata Allah menjadikan beliau sore itu sebagai pengingat aku. yang sering futur dan merasa, "Yaudah lah ya... insyaAllah aku udah cukup berusaha buat jadi muslim yang baik".

I stare blankly outside the taxi. I smiled to myself ... and I promise I will write it done, well Allah made everything possible...

jadi masih mau jadi muslim biasa-biasa aja ? I ask myself yg galau Kamisnya mau puasa atau engga. Puasalah!

*walaupun akhirnya gapuasa krn perut bermasalah lagi.. setidaknya udah niat 😶😶