Zombigaret, Aku, dan Secarik Kertas Kuning
Oleh: Karima A.
“Ma,” Panggilku pada mama pelan. Tapi ia tidak menoleh. Wajahnya
menghadap ke jendela yang terbuka. Pandangannya kosong, tangannya menggenggam secarik
kertas berwarna kuning.
“Ma…” panggilku lebih keras. Mama menggerakkan wajahnya, tapi bukan menghadapku.
Melainkan kepada secarik kertas kuning yang tadi digenggamnya erat. Ia memperhatikan
kertas itu dengan seksama dan mulai menangis. Tangisan yang sesak dan dalam,
tanpa suara.
Seketika air mata ikut merebak di wajahku. Aku tahu tentang kertas
kuning itu. Kertas kuning itu adalah ‘tiket’ yang selalu aku buat sebagai
hadiah ulang tahun keluarga, tiket itu menunujukkan apa yang akan aku lakukan
untuk orang yang menerima. Disecarik kertas itu tertulis ‘Lagu Bunda’. Sebuah
lagu yang kujanjikan akan aku persembahkan untuk mama.
“Mama maafin Dira…” ucapku lagi. Mama tidak menoleh. Tidak akan. Sebab sejak
tadi mama tidak mendengar apapun. Dan yang aku ucap tidak pernah terdengar
pula. Tidak akan pernah. Sejak hari ini, sejak sekarang, sejak operasi laryngectomy atau kotak suaraku selesai
dilakukan. Dan sejak saat ini pula jiwaku telah berpindah tempat. Sebab suara yang
menjadi nafasku itu, hilang terbawa kabut asap.
xxx
3
November 2012 | First Meeting
Hari aku menginap di rumah Sesa.
Sesa adalah pelatih paduan suara kami sekaligus seorang penyiar. Kami bermain
monopoli sepuasnya sampai semuanya sudah kelelahan. Sesa lalu duduk di balkon
dan menghidupkan rokok. “Kamu ingin jadi penyiar?” Ucapnya mendengarkan
curhatku. Aku menganguk. “Bisa. Tapi suaramu nggak berkarakter, nih..” dia
menyodorkan rokok yang sudah dihisapnya. Dengan ragu aku menghisapnya. Rasanya
pahit dan sesak pada hisapan pertama. Tapi ada sensasi menggelitik di kepalaku,
hingga aku menghisapnya hingga selesai dan bahkan meminta batang kedua.
6 November
2013 | This addiction
Sudah setahun aku kecanduan
merokok. Setiap pulang sekolah dan jeda istirahat aku mencuri waktu untuk
merokok, aku mampu menghisap 15 batang sehari dan mencoba berbagai jenis rokok.
Entah kenapa aku mulai merasa sedikit sesak dan kesulitan saat bernyanyi, apa
karena aku merokok? Tuhan, aku ingin berhenti. Tolong aku.
xxx
Sejak awal tahun 2014 aku merasa
sakit ditenggorokan, terus menerus batuk, dan tidak bisa menyanyi karena
suaraku sangat serak. Mama membawaku ke dokter karena khawatir dengan batukku.
Dokter melakukan laringoskopi dan biopsi. Aku didiagnosa menderita kanker tengorokan
stadium 2. “Masih stadium 2, kamu punya
bayak harapan untuk sembuh”, ujar dokternya. Saat itu mama terisak, tapi
aku berjanji akan sembuh dengan memberikan kupon ‘bernyanyi’ sebagai hadiah
untuk mama saat aku sembuh. Aku pasti sembuh.
Ternyata dimulainya terapi
melawan kanker tenggorokan adalah saat aku menyadari bahwa aku sudah menjadi
zombigaret. Aku hidup, tapi ragaku telah hilang entah sejak kapan. Aku hidup,
setengah mati. Tidak ada lagi Dira yang dulu. Aku menjalani radioterapi, yaitu
terapi dengan penembakan laser atau radioaktif di sekitar tenggorokan. Saat
terapi, rasa panas dan gatal menjalar ke daerah tenggorokanku. Usai terapi mulutku
terasa kering dan gigiku rontok saat aku mengunyah makanan yang tidak terlalu
keras seperti roti, tubuhku lemas dan aku merasa mual luar biasa. Setiap satu
bulan dua kali aku melakukannya. Aku seperti mati.
Disisi lain sulit sekali untuk
tidak merokok. Melawan kecanduan bersamaan dengan melawan kanker tenggorokan
sama dengan mati. Mati. Mati. Ya, aku
sudah mati sejak lama. Aku merasa pusing, lemas, sakit yang luar biasa dan
meriang tanpa asupan nikotin ke kepalaku lewat hisapan rokok. Aku tidak tahan
dengan rasa kacau yang menjalar ditubuhku dan menghisap rokok sesekali tanpa
sepengetahuan mama.
Setelah setengah tahun
pengobatan dengan radioaktif, dokter kembali memeriksaku. Beliau bilang
kondisiku tidak membaik karena aku tidak berhenti merokok. Kankernya telah
menyebar ke daerah pita suaraku sehingga harus dilakukan operasi pengambilan
kotak suara dan diikuti dengan kemoterapi.
Mama
menangis sejadinya. Aku melihat mama dengan pandangan lirih. Ma,
biarkan aku mati. Karena aku telah mejadi zombigaret sejak lama. Aku
tidak punya teman, temanku hanya sesama pasien kanker tenggorokan yang datang untuk
radioterapi. Aku berangkat sekolah tapi di sekolah kerjaku hanya merokok.
Otakku hanya bisa bekerja bila suplai nikotin mencukupi. Di sekolah semua orang
memperlakukanku dengan jijik mengetahui aku mengidap kanker karena merokok. Aku
tidak punya masa depan. Aku sulit makanan dan seluruh gigiku rontok sebagai
efek samping radioterapi. Mama telah menghabiskan banyak uang untuk memulihkan
ruhku. Sementara aku berjalan, tapi kakiku tidak menapak di atas jalan ini. Sekujur
tubuhku lemas dan aku akan limbung. Esok setelah operasi dan kemoterapi. Aku akan
kehilangan suara–tempat mimpiku bergantung dan rambutku akan rontok.
Mama tetap terisak untukku
sementara aku hanya memasang wajah dingin. Sejatinya, aku telah menjadi
zombigaret sejak pertama kali menghisap rokok. Karena aku telah dikendalikan
oleh rokok untuk terus menghisap tanpa peduli apapun. Dan malam saat aku
menghisap rokok Sesa adalah hari yang paling aku sesali seumur hidup, saat dimana aku
berubah menjadi zombiegaret. Seketika memoriku kembali pada kertas kuning
dimana aku menulis akan menyanyikan lagu bunda untuk mama, janjiku untuk
sembuh dan bisa menyanyi lagi. Apa daya, aku telah menjadi zombigaret. Perlahan
air mataku menetes.
Kata mereka diriku, selalu di manja.. Kata mereka diriku, selalu ditimang..
-----
Cerita ini diikutsertakan dalam Lomba blog diary zombiegaret 2014 | Originally mine
and this story dedicated to all young ppl who still in love with the ciggaretes.
Sincerely, a pharmacist wanna be -Karima-